Subsidi & Energi

baru aja selesai baca artikel; Indonesia merupakan salah satu negara dengan harga BBM  termurah di dunia. kok bisa? of course karena subsidinya (khususnya Premium). Untuk premium sendiri, di tahun 2018 dipasarkan dengan harga Rp 6.450,- yang seharusnya dijual dengan harga Rp 8.600,- sehingga terdapat selisih harga Rp 2.150,-. Subsidi yang diberikan Pertamina dan pemerintah sekitar 25% dari harga Premium ini jelas menjadi beban APBN Indonesia. Harga BBM juga dipengaruhi fluktuasi mata uang, keputusan OPEC, kebijakan lingkungan, dan logistik serta infrastruktur hingga di daerah tersulit seperti di Papua.

Bayangkan apabila kita bisa menghemat anggaran APBN dengan memangkas subsidi BBM dan mengalokasikannya untuk pembangunan infrastruktur. Karena menurut saya, pembiayaan infrastruktur akan jauh lebih menguntungkan dengan efek jangka panjangnya dibandingkan mensubsidi BBM sebagai solusi jangka pendek. Ketika tujuan kita menghemat BBM (Premium) maka pengembangan moda transportasi umum menjadi penting sebagai solusi mengurangi konsumsi Premium pada kendaraan pribadi. Hal ini tentunya bukan hanya menjadi solusi untuk setahun / dua tahun, namun sebagai salah satu bentuk pembangunan peradaban yang dinilai lebih menguntungkan untuk masa depan. Cost-Benefit Analysis juga dapat dinilai ga cuma dari keuntungan financial aja, tapi ada hal lain  yang diperhitungkan seperti lingkungan.

Teknologi dalam menghasilkan per barrel minyak di Indonesia tergolong mahal karena masih menggunakan sumber daya asing. Sebegitu sulitnya pengembangan Industri Petroleum di dalam negeri berdampak pada penurunan cadangan minyak dan tentu aja peningkatan harganya. Pada point ini lah saya ingin kembali mempromosikan Renewable Energy atau energi terbarukan. 

Ketika kita berkutat pada cadangan minyak yang terbatas dan biaya serta harga jual yang tinggi di masyarakat, maka ini lah saatnya mencari solusi dari celah selain BBM. Pengembangan Renewable Energy seperti pellet kayu menjadi pilihan saya. kenapa? mungkin beberapa orang akan lebih dahulu  membahas penggunaan panel surya atau Solar Power Plant. Pembiayaan infrastruktur untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya tidak akan terlalu mahal apabila dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga lainnya. Namun sumber radiasi matahari yang dianggap besar hanya terbatas di beberapa daerah di Indonesia Timur. Energi Surya pun termasuk ke dalam energi yang sumbernya intermitten (berselang) sehingga penyediaannya tidak akan full sepanjang tahun.

Wood Pellet atau Pelet Kayu merupakan bahan bakar yang dipadatkan dari limbah organik maupun kayu yang dihaluskan. Teknologi pengolahannya tidak terlalu mahal dan dapat digunakan untuk skala besar maupun kecil. Dari observasi yang saya lakukan di sebuah pabrik, dibutuhkan satu plant pengolahan Pelet Kayu senilai kurang dari 11 Milyar Rupiah untuk menghasilkan bahan bakar pelet 3-4 combustion engine pabrik. Teknologi waste to energy ini juga bisa dijadikan sebagai solusi untuk zero waste, lho! karena limbah organik dari hasil produksi pabrik juga bisa digunakan untuk pembuatan wood pellet atau pelet kayu, maka pabrik tersebut diharapkan menghasilkan nol limbah.

Jadi? Renewable Energy ga harus ribet dan mahal macam bangun battery infrastructure dan nuklir. Indonesia punya sumber biomass melimpah, kenapa harus pilih alternatif yang ga ada sumbernya?

-ng

Comments